Beranda | Artikel
Menjelaskan Kesalahan Perawi dalam Ilmu Hadits
Senin, 10 Maret 2025

Menjelaskan Kesalahan Perawi dalam Ilmu Hadits adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 21 Sya’ban 1446 H / 20 Februari 2025 M.

Kajian Islam Tentang Menjelaskan Kesalahan Perawi dalam Ilmu Hadits

Di antara contoh yang disebutkan dalam muqaddimah Shahih Muslim adalah bahwa para ulama Ahlul Hadits—yang dikenal dengan kewara’an dan kehati-hatian dalam agama—menjaga agar tidak merugikan atau mencederai orang lain, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Namun, dalam hal menjelaskan kesalahan, hal tersebut harus disampaikan agar kaum Muslimin tidak ikut tersesat serta agar hadits tetap terjaga dari keisengan orang-orang yang bisa menyesatkan.

Dalam salah satu riwayat berikutnya, Imam Muslim rahimahullah berkata:

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْعَنْبَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَوْفُ بْنُ أَبِي جَمِيلَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُبَيْدٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: مَنْ حَمَلَ السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa membawa senjata (untuk menakuti atau membahayakan orang lain), maka dia bukan bagian dari kami.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat ini, yang menjadi pembahasan adalah seorang periwayat hadits bernama ‘Amr bin ‘Ubaid. Dia adalah salah satu tokoh Mu‘tazilah.

Kelompok Mu‘tazilah memiliki beberapa kesesatan, di antaranya mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar akan dikekalkan di dalam neraka, sebagaimana keyakinan Khawarij. Kaum Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar, seperti berzina, minum khamar, berjudi, mencuri, dan berbagai dosa besar lainnya, akan kekal di neraka. Namun, dalam pandangan Khawarij, pelaku dosa besar dianggap kafir langsung dan keluar dari Islam. Sementara itu, Mu‘tazilah tidak mengkafirkan pelaku dosa besar, tetapi mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar akan dikekalkan dalam neraka.

Dalam pembahasan sebelumnya, telah kita sampaikan bahwa apabila suatu hadits diriwayatkan oleh seorang perawi yang memiliki kebid‘ahan dan ia mengajak orang lain untuk meyakini bid‘ahnya, maka hadits yang diriwayatkannya menjadi lemah. Namun, jika sebuah hadits yang shahih diriwayatkan melalui jalur para ulama yang terpercaya, maka hadits tersebut tetap shahih dalam jalur tersebut. Sedangkan jika diriwayatkan melalui jalur perawi yang memiliki kebid‘ahan, maka haditsnya menjadi lemah. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar, sebagaimana hadits:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan apa yang ia niatkan.”

Hadits ini merupakan hadits pertama dalam al-Arba‘un an-Nawawiyyah. Ibnu Rajab al-hanbali rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini hanya shahih dari jalur riwayat ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu.

Lihat: Hadits Arbain Ke 1 – Innamal A’malu Binniyat

Jika ada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat lain, maka hadits tersebut tidak shahih. Hadits yang kita bahas sekarang, ketika diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Ubaid, menjadi tidak dapat diterima.

‘Amr bin ‘Ubaid adalah seorang perawi yang memiliki bid‘ah, yaitu Mu‘tazilah. Saat meriwayatkan hadits ini, sebenarnya ia ingin sekaligus melariskan keyakinannya, yaitu mengkafirkan para pelaku dosa besar dari kaum Muslimin. Hadits yang tadi disebutkan:

مَنْ حَمَلَ السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa membawa senjata (untuk menakuti atau membahayakan orang lain), maka dia bukan bagian dari kami.”

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Maknanya juga shahih, yaitu ketika ada seorang Muslim yang ingin melukai, membunuh, atau memecah persatuan kaum Muslimin, sampai-sampai membawa senjata untuk memusuhi kaum Muslimin sendiri, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَلَيْسَ مِنَّا

“Maka dia bukan bagian dari kami.”

Hadits ini shahih dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Namun, makna yang terkandung di dalamnya bukan berarti bahwa orang tersebut kafir, melainkan ia tidak termasuk dalam golongan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki aturan bahwa orang yang mengikuti gaya hidup selain sunnahnya telah melakukan kesalahan fatal. Akan tetapi, tidak serta merta orang yang melakukan kesalahan pasti keluar dari Islam.

Hal ini sejalan dengan beberapa hadits lain, misalnya:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِالْغَزْوِ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِّفَاقِ

“Barang siapa mati dalam keadaan tidak pernah berjihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.”

Apakah orang tersebut pasti menjadi munafik yang keluar dari Islam? Tidak mesti demikian. Akan tetapi, sifat tersebut adalah sifat yang dimiliki oleh orang-orang munafik.

Kemudian, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar pipinya, merobek bajunya, dan meratap dengan seruan jahiliyah.”

Hadits ini menjelaskan bahwa wanita-wanita yang meratapi orang yang meninggal hingga saking sedihnya mereka memukul pipi mereka, merobek baju mereka, dan meratap seperti kebiasaan orang-orang jahiliyah, bukan termasuk dalam golongan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Para ulama mengatakan bahwa meratap berlebihan atas kematian seseorang termasuk dalam dosa besar. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan yang melakukannya langsung menjadi kafir dan keluar dari Islam. Akan tetapi, mereka telah melakukan perbuatan yang bukan merupakan tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka benar-benar merugi, karena dosa ini adalah dosa besar.

Para ulama juga menegaskan bahwa niyahah (meratapi orang yang meninggal dengan berlebihan) adalah dosa besar. Namun, apakah pelakunya otomatis keluar dari Islam? Tidak. Ia tidak serta merta menjadi kafir.

Hadits ini shahih, tetapi riwayat melalui jalur ‘Amr bin ‘Ubaid menjadi lemah. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah seorang perawi dari kalangan Mu‘tazilah, dan ia cenderung memahami hadits sesuai dengan keyakinannya.

Dikisahkan bahwa ketika Mu‘adh bin Mu‘adh al-‘Anbari berbicara kepada gurunya, ‘Auf bin Abi Jamilah, ia berkata:

“Sesungguhnya ‘Amr bin ‘Ubaid mengatakan, ‘Kami mendapatkan riwayat dari al-hasan al-Basri bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan hadits ini.’”

Maka, ‘Auf bin Abi Jamilah pun mengomentari riwayat dari ‘Amr bin ‘Ubaid. Namun, yang dikomentari bukanlah keabsahan haditsnya secara umum, melainkan jalur periwayatannya melalui ‘Amr bin ‘Ubaid, yang dianggap lemah.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54984-menjelaskan-kesalahan-perawi-dalam-ilmu-hadits/